MENCIPTA RUANG GERAK AMAN DAN MENYENANGKAN
Oleh Yanti Lisnawati
Guru Sekolah Khusus Negeri 02 Kota Serang
Tulisan ini merupakan kesimpulan dan refleksi pengetahuan dan pengalaman baru yang dipelajari dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Berada di tengah anak istimewa bukan sebuah kebetulan. Ada beragam cerita dan pengalaman yang didapat dari anak-anak berkebutuhan kelas. Mulai dari datang hingga menjelang pulang. Dari pertama bertatap hingga berjabat tangan, salaman.
Berbagai tingkah laku murid terkadang membuat sering mengernyitkan dahi. Berpikir mesti bagaimana menangani keberagaman karakter anak-anak. Perlu diketahui saat ini, saya mengajar lima anak berkebutuhan khusus autism usia tujuh dan delapan tahun. Meski berada dalam satu rombel, tetapi karakteristik mereka satu sama lain berbeda. Mereka dicipta dengan keunikan masing-masing, seakan memberi jalan pada gurunya untuk terus berpikir menemukan cara atau teknik mengajar agar muridnya dapat belajar, setidaknya dapat mengikuti instruksi.
Pandangan saya sebelum mempelajari modul pun, telah mengakui bahwa murid sudah terlahir dengan potensi dan keunikan masing-masing. Oleh karenanya mereka membutuhkan cara dan metode khusus untuk belajar. Memberikan porsi belajar sesuai dengan kemampuan anak didik berdasarkan hasil asesmen.
Namun, pada praktiknya saya tidak dapat maksimal melayani dan memberikan pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan kemampuan anak. Terkadang dalam pemberian LKS disamakan antara yang sudah mampu membaca dengan yang belum. disebabkan ketidaksiapan saya sebagai guru dengan tugas tambahan lain yang diemban.
Hal lainnya, yaitu pembelajaran yang diberikan masih berpatokan pada buku paket dan belum mengedepankan pembelajaran bermakna dan kurang memperhatikan adanya kodrat alam serta kodrat zaman yang melekat pada anak. Selain itu, sangat jarang pula melibatkan murid untuk berdiskusi dan melakukan refleksi pembelajaran karena beberapa anak masih susah berkomunikasi meski secara non verbal.
Setelah beberapa kali berinteraksi dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, sedikitnya ada timbal balik yang diterima. Kenapa hanya sedikit? ya, karena saya merasa masih perlu membaca dan memahami lagi pemikiran-pemikiran KHD langsung dari bukunya yang belum saya dapatkan, belum cukup jika hanya mengandalkan website atau dari media data berbasis internet saja.
Timbal balik yang dimaksud adalah adanya sebuah perubahan dalam cara pandang. Memandang anak-anak selain sebagai murid juga menjadi partner dalam pembelajaran. Demikian juga, timbul pemikiran yang berlanjut dengan merangkai konsep bahwa saya tidaklah mesti menjadi sentral dalam kegiatan belajar. Perlu melibatkan peserta didik dalam diskusi dan refleksi dimulai dari hal sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami. Perlu juga untuk terus menggali berbagai teknik pengajaran yang dapat memotivasi peserta didik untuk aktif dan menyenangkan. Tak kalah pentingnya adalah memberikan ruang bagi murid untuk memberikan respon sesuai caranya, pada setiap sesi kegiatan. Diikuti oleh pemberian reward sebagai penguat perilaku positif.
Semua itu pada hakikatnya, ingin memfasilitasi dan memotivasi murid untuk dapat mengolah gerak pikiran, perasaan, dan kehendak. Memadukan cipta, rasa, dan karya hingga selaras dalam menjalani hidup dan kehidupannya di tengah keluarga juga masyarakat. Hal tersebut tentu membutuhkan sebuah ekosistem yang kondusif yaitu ekosistem kecil di rumah, di dalam keluarga.
Dengan kata lain, ingin menuntun murid hingga dapat bertumbuh mandiri dan dapat bersosialisasi di masyarakat.
Beberapa upaya yang kemudian dapat diterapkan di kelas di antaranya dengan mencoba menciptakan tempat belajar yang kondusif. Ibarat petani yang menyiapkan lahan sebelum bertanam. Melakukan penataan ulang terhadap setting kelas, sarana dan prasarana dengan memaksimalkan kondisi yang ada. Membuat sudut-sudut kelas menjadi sentra kegiatan yang disukai anak. Memberi penamaan atau identitas pada alat, sentra kegiatan. Menyediakan kartu pilihan aktivitas yang dapat membantu murid dalam berkomunikasi, menyampaikan keinginannya.
Sebagai penunjang, terdapat kartu emoticon sebagai penguat perilaku positif. Selain itu, untuk membantu murid memahami suasana hati dan perasaan yang sedang terjadi. Hal ini penting sekali, karena agar anak memahami perasaannya serta merasa memiliki sahabat yang mengerti apa yang dimaunya. Dengan demikian kebiasaannya berteman hanya dengan benda mati dapat terhenti dengan sendirinya.
Memberi bimbingan, intervensi, dan stimulasi pada area hambatan yang dihadapi murid. Menumbuh kembangkan potensi yang dimiliki. Memfasilitasi kebutuhan peserta didik. Dengan tujuan agar peserta didik dapat meminimalisasi gangguan atau hambatan yang selama ini dimiliki dengan konvensasi atau pengalihan pada perilaku adaftif serta memiliki alternatif kegiatan untuk mengembangkan kemampuan.
Menemukan bakat, minat potensi murid sebagai upaya untuk menebalkan potensi yang telah dimiliki selama ini yang belum tergali. Berharap nanti anak-anak murid yang dicintai bisa mandiri dan mendapat apresiasi bukan diksriminasi atau intimidasi.
Mengikutsertakan murid pada kegiatan di luar. Kegiatan yang melibatkan warga sekolah pun warga masyarakat. Seperti dalam bentuk lomba-lomba atau partisipasi aktif lainnya.
Pada intinya, program yang dibuat berorientasi pada murid serta memposisikan diri sebagai among yang siap memberi teladan yang baik. Membuka jalan atau memberi ide dan prakarsa, serta siap memberi motivasi dan dukungan bagi murid. Sesuai semboyan Ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani.
Salam bahagia bapak/ibu. Semoga tulisan ini bermanfaat.